![]() |
Perlukah Kita Berharap? (Foto: Dokumentasi Pribadi) |
Perlukah Kita Berharap?
Hujan benar-benar membasahi Kota Bandung. Terlihat seorang anak muda yang tengah berjalan kecil di bawahnya. Wajahnya menunjukkan kesedihan, tubuhnya berjalan menggambarkan kehampaan. Di seberangnya terdapat seorang bapak yang tengah berteduh bersama sepeda motor dan gerobak dagangannya. Dipanggil anak muda itu. “Nak, kemarilah!” ujar bapak tersebut, sambil mengayunkan salah satu tangannya. Tak disangka suaranya mampu mengalahkan derasnya hujan yang membasuh wajah kota.
Anak muda itu menghampiri bapak tersebut. Dilihatnya wajah anak muda itu. Tatapannya yang begitu kosong menggambarkan bahwa anak muda itu tengah putus asa. Anak muda itu kini duduk menjauhi bapak tersebut. Matanya terpusat pada hujan yang turun kian lama, kian deras.
Bapak tersebut menghampiri anak muda itu. Kini keduanya sama-sama tengah duduk menatap hujan. Suasana begitu hening, sesekali juga angin berhembus. Bapak tersebut mencoba memecahkan keheningan yang tercipta diantara mereka, dengan berkata. “Ceritakan harimu, anak muda!” tak lama dari itu ia melanjutkan perkataannya. “Itupun jika kamu berkenan,”. Suara bapak tersebut kini terdengar begitu halus. Akan tetapi, anak muda itu masih diam seribu bahasa. Seolah pikiran dan perasaannya begitu rumit untuk diceritakan.
Tak mau usahanya sia-sia. Bapak tersebut kembali mencoba memecahkan keheningan dengan bertanya. “Apakah kau mau mendengarkan ceritaku?” tak menjawab dengan perkataan, pemuda itu cukup menganggukkan kepalanya pertanda ia bersedia. “Nak, menurutmu apakah kita perlu berharap?” kini, anak muda itu mulai menjawab. “Iya, kita perlu berharap.” Ujarnya dengan nada yang begitu datar. “sayang sekali, jawabanku berbeda.” Ujar bapak tersebut.
Anak muda itu kembali bertanya. “Pak, kau mengajakku mendengar ceritamu? Atau kau mengajak aku berdiskusi denganmu?,”.
“Jika aku hanya bercerita aku hanya akan perlu pendengaranmu. Dan sungguh begitu kejam sekali jika aku benar-benar melakukannya padamu. Karena kau lah yang seharusnya butuh didengarkan, bukankah begitu?” Bapak tersebut melanjutkan perkataannya. “Aku hanya menjadikan kata cerita sebagai topeng dari kata mari kita berbicara.” Jawab bapak tersebut dengan begitu tenang.
“Memang aku yang seharusnya butuh didengarkan, terima kasih atas pengertiannya pak, kini aku ingin tahu kelanjutan mengenai jawaban pertanyaanmu itu.” Anak muda itu kini mulai membuka diri secara perlahan.
“Aku akan memperkenalkanmu dengan seorang tokoh psikologi. Ia Bernama Abraham Maslow seorang psikolog terkenal dari Amerika. Mengutip perkataannya. “I can feel guilty about the past, apprehensive about the future, but only in the present moment can I act. The ability to be in the present moment is a major component of mental wellness.” Arti sederhananya. “Aku merasa bersalah pada masa lalu, khawatir akan masa depanku. Tapi hanya pada waktu saat inilah aku dapat bertindak. Kemampuan untuk hidup saat ini adalah komponen utama dalam kesehatan mental,”.
Bapak tersebut melanjutkan perkataannya. “Masa lalu itu sudah tidak ada, begitu pula masa depan adalah masa yang tiada. Adapun yang kita miliki adalah masa saat ini. Mungkin hatimu bertanya, bagaimana bisa seseorang hidup di masa depan, sementara yang orang itu miliki adalah masa kini? Jawabannya adalah berharap. Harapan mampu membawa seseorang hidup di masa depan dan melupakan kesempatan untuk bertindak di masa kini,”.
Dirinya menambahkan contoh agar sang anak muda dapat memahaminya dengan mudah. “Kita ambil contoh terdapat seorang yang bangun dari tidurnya. Orang tersebut lalu berharap hari ini akan lebih rajin, dan terus berpaku pada harapannya sepanjang hari. Namun, realitanya apa yang terjadi? Seseorang itu tidak benar-benar menjadi rajin. Ia masih apa adanya bahkan beberapa kasus masih sama saja dengan hari-hari sebelumnya. hal tersebut disebabkan karena orang tersebut tidak bisa hidup seutuhnya disebabkan ia yang terpaku dengan harapannya sepanjang hari. Terlena dan terbuai pada masa yang sebenarnya tiada,”.
Anak muda itu mengangguk pertanda ia paham. Namun apakah ia benar-benar paham? Untuk membuktikannya bapak tersebut kembali lagi bertanya. “Jadi, setelah mendengarkan penjelasanku. Apakah kita perlu berharap?”.
“Aku paham, kita tidak perlu berharap itu jawabanku saat ini.” Jawab anak muda itu.
“Hmm, sayang sekali anak muda, jawabanku berbeda.”
“Bagaimana bisa? Bukankah tadi kau sendiri yang berkata, bahwa kita tidak perlu berharap.” Tanya anak muda itu dengan sedikit geram seolah sedang dipermainkan orang dewasa.
“Jika semua manusia meyakini kita tidak perlu berharap, akan banyak sekali manusia yang mengakhiri hidupnya karena putus asa.” Jawab bapak tersebut. Sementara anak muda itu terlihat masih dipenuhi kebingungan. Bapak tersebut membantu anak muda itu untuk menyelesaikan kebingungan yang memenuhi kepalanya, dengan bertanya kepada anak muda itu. “Begini, apakah kau setuju permasalahan yang dihadapi oleh manusia itu berbeda?” Anak muda itu menjawab. “Aku setuju dengan itu, bahwa permasalahan yang dihadapi setiap manusia itu berbeda.”
Bapak tersebut menjawab. “Nak, bapak yang saat ini berhadapan dengan permasalahan sedang merintis usaha bagi bapak, bapak tak perlu harapan. Berjuang saja semaksimalnya pada saat ini sepenuhnya. Lalu, untuk mu nak, yang terlihat sedang mengalami kegagalan, dan terlihat putus asa, bagimu perlu memiliki harapan. Mari bayangkan sejenak. Apa yang akan terjadi pada bumi di saat manusia mengalami putus asa dan tidak memiliki harapan? Bumi akan kehilangan penghuninya.”
“Aku mulai mengerti pak, apa yang dikatakan Maslow. Ia tidak melarang kita untuk kecewa pada masa lalu atau pun berharap pada masa depan. Tapi yang ia tekankan adalah jangan terlalu terpaku pada masa yang telah berlalu dan jangan terlalu terbuai oleh masa yang belum tiba. Untuk merasakan hidup sepenuhnya kita harus melakukan sesuatu seutuhnya.” jawab anak muda itu seolah apa yang telah berkecamuk dalam pikirannya mulai berhenti.
“Baik, jawaban yang cukup memuaskan.” Ucap bapak tersebut lalu diakhiri dengan senyuman terhadap anak muda itu. Anak muda itu pun membalas senyumannya sebagai tanda terima kasih.
Hujan hampir usai. Dinginnya suasana telah dikalahkan oleh perbincangan dua anak manusia. Kini yang tersisa hanyalah kenangan yang akan membekas di hati mereka.
“Nak, sebelum hujan usai, dan kau pergi. Bolehkah aku menasehatimu?”
“Sangat diperbolehkan pak.” Jawab anak muda itu penuh semangat.
“Nak, segala sesuatu akan indah pada akhirnya. Jika sesuatu itu belum indah pada hidupmu maka bukan itu akhirnya. Percayalah, dunia tak akan selamanya memalingkan wajah.” Ucap bapak tersebut sambil menggenggam tangan anak muda itu seolah memberikan pesan terakhir jadilah kau anak muda yang kuat.
“Akan ku ingat nasehatmu baik-baik. Terima kasih atas segalanya.” Anak itu kini tersenyum lebar.
Hujan telah menemui akhirnya. Jalanan kini Kembali dipenuhi manusia yang berlalu-lalang. Anak muda itu pergi melambaikan tangan dan bersiap menghadapi Kembali tantangan hidup selanjutnya. “Bandung terlihat indah setelah hujan usai” Ujar anak muda itu. ia pun bergumam di hatinya sembari melangkah meninggalkan tempat ia berteduh. “Pemilik semesta memang tidak akan pernah membuat manusia putus asa, sayangnya justru manusia lah yang memilih putus asa menjalani hidupnya.”
Penulis: A.H.Ghibran