Pada hari Rabu, 16 November 2022, Sarekat Mahasiswa UMbandung yang terdiri dari mahasiswa - mahasiswa UMBandung mengadakan pengkajian dan diskusi untuk menyoal Peraturan Rektor tentang Kode Etik Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bandung yang diadakan di Universitas Muhammadiyah Bandung.
Sarekat Mahasiswa UMbandung atau Sarekat Mahasiswa berpendapat bahwa Aspek substantif seharusnya menjadi prioritas kampus sebagai Lembaga Pendidikan dengan label Universitas. Tidak hanya secara penciptaan budaya kampus, akan tetapi pun pada saat pembuatan aturan yang berkaitan dengan keberlangsungan Universitas, khususnya peraturan yang berkaitan dengan mahasiswa. Hal ini dikarenakan sifat dari mahasiswa berada di level yang berbeda dengan siswa khususnya dalam hal berpikir. Fleksibilitas dan interpretatif menjadi pertimbangan yang patut dijadikan variabel dalam membangun sebuah kebijakan.
Sarekat Mahasiswa juga berpendapat bahwa Kode Etik Mahasiswa merupakan produk hukum yang penting untuk hadir di lingkup universitas. Hal ini guna mencerminkan identitas suatu kampus akan sifatnya sebagai institusi Pendidikan. Kemudian, Sarekat Mahasiswa menganggap permasalahan muncul ketika kode etik mahasiswa UMBandung, memiliki poin – poin yang memuat aspek simbolis tanpa memberikan rasionalitas yang jelas sehingga minimnya aspek – aspek substansial serta terkesan otoriter.
Poin – poin yang menjadi masalah menurut Sarekat Mahasiswa berdasarkan argumentasi hasil dari pengkajian ada pada poin - poin sebagai berikut :
1. Pasal 4 Ayat 2 tentang Memelihara nilai-nilai etika, moral dan agama dalam bergaul, bertutur kata, berbusana, dan berkendara.
Dalam pasal 4 dan ayat 2, Sarekat Mahasiswa berfokus pada nilai – nilai etika, moral dan agama dalam berbusana yang secara aturan dalam kode etik mahasiswa tidak ada standarisasi akan tetapi pada saat kampanyenya, dibuat seakan – akan etika berbusana memiliki standarisasi khusus. Adapun, bentuk kampanye yang Sarekat Mahasiswa maksud yakni dibuatnya poster Panduan Berbusana di Kampus, Etika Berbusana yang dibuat oleh LPPAIK.
Standarisasi yang termaktub dalam poster tersebut menjadi masalah karena sifatnya yang tidak memiliki landasan serta terlalu rinci dalam mengatur berbusana mahasiswa disertai beberapa poin yang tidak substantif.
Salah satu contohnya adalah Poin 5 dalam poster yang dimaksud, memiliki narasi bahwa bagi pria dilarang berambut gondrong. Dalam hal ini, poin tersebut terkesan seperti selera subjektif seseorang atau ketidaksukaan terhadap mahasiswa yang berambut gondrong. Sarekat Mahasiswa berpikir demikian karena rambut gondrong sama sekali tidak memberikan dampak yang merugikan secara signifikan.
Sarekat Mahasiswa merekomendasikan Poster yang dibuat oleh LPPAIK untuk disikapi dengan 3 cara yaitu :
a. LPPAIK merevisi narasi - narasi yang tertulis didalam poster menjadi narasi yang cukup untuk diinterpretasikan oleh mahasiswa tanpa menimbulkan kesan mengatur dan sentimen.
b.Karena narasi yang ada di dalam poster tidak memiliki landasan yang spesifik serta muatannya yang lebih kepada aspek edukasi, maka lebih baik pihak LPPAIK membuat poster Etika Seorang Akademisi atau Intelektual untuk menggantikan etika berbusana dengan narasi – narasi yang bersifat konstruktif dengan alasan salah satunya bahwa isi kepala seseorang lebih penting daripada mengurusi rambut di kepala seseorang.
c. LPPAIK mencabut serta tidak membuat poster dengan esensi yang sama karena dinilai kurang substantif.
2. Pasal 13 ayat 1 tentang Etika Mahasiswa UM Bandung dalam kegiatan Intrakurikuler.
Di dalam pasal 13 ayat 1 tertulis diwajibkan bagi mahasiswa untuk mengikuti DAD dan memakai seragam HW meski bukan kader HW. Sarekat Mahasiswa berpendapat bahwa hal ini menjadi permasalahan karena aturan tersebut terkesan memaksa, tidak bersifat demokratis atau tidak menghargai pilihan mahasiswa untuk berkiprah di organisasi sejenis IMM, tidak efektif dan efisien dalam pengimplementasian serta menghina organisasi yang berkaitan dengan pasal tersebut.
Kampus seharusnya menjadi ruang untuk membangun kesadaran mahasiswa dengan cara memiliki pemikiran yang kritis dan dapat bertanggung jawab atas pilihan yang dibuat. Tanpa dibuat ruang demikian, mahasiswa akan sulit untuk membumikan fungsi dari seorang mahasiswa sebagai agent of change, social control, moral force dan iron stock. Kewajiban mengikuti perkaderan DAD serta kewajiban untuk menggunakan seragam HW pada hari jum’at sama saja dengan menghilangkan ruang pembangunan kesadaran yang seharusnya dibuat dan dijamin oleh kampus.
Mahasiswa UMBandung pun bersifat heterogen dalam hal ideologi pergerakan mahasiswa. Sarekat Mahasiswa berpendapat bahwa DAD merupakan perkaderan untuk menjadikan seorang mahasiswa memiliki identitas sebagai anggota biasa IMM. Permasalahannya dalam AD/ART IMM, Anggota biasa tidak diperbolehkan untuk merangkap di dalam organisasi sejenis dan tidak semua mahasiswa UMBandung berada pada status yang netral secara identitas organisasi. Dengan kata lain, kewajiban untuk DAD akan mustahil untuk dilaksanakan oleh seluruh mahasiswa UMBandung karena selain telah adanya mahasiswa UMBandung yang tergabung dalam organisasi sejenis IMM, juga sifatnya menyalahi AD/ART dari IMM itu sendiri.
Sarekat Mahasiswa melanjutkan bahwa sifat wajib mengikuti DAD malah mengurangi bahkan bisa menghilangkan efektifitas dan efisiensi dari kegiatan DAD itu sendiri sehingga, nilai substantif yang didapatkan calon anggota seperti Kemuhammadiyahan dan Ke-IMM-an. Permasalahan target kuantitas, sumber daya instruktur yang sangat terbatas, ruang diaspora, teknis pelaksanaan hingga keilmuan yang dimiliki oleh IMM yang berada di UMBandung masih belum memadai untuk menciptakan kaderisasi yang substantif.
Sarekat Mahasiswa memiliki hipotesis bahwa kualitas akan menentukan kuantitas. Artinya, masivitas IMM secara simbolis dan substansi yang ada di UMBandung akan terlaksana jika kualitas dari IMM itu sendiri memadai. Kewajiban DAD justru memunculkan kesan bahwa masivitas IMM terjadi karena aturan, bukan karena kualitasnya dalam memberikan kebermanfaatan. Kesan tersebut jelas saja menganggap bahwa IMM tidak bisa memasifkan organisasinya dengan tangan mereka sendiri. Pun sama halnya dengan hal yang dialami oleh HW.
IMM dan HW merupakan eksponen dari Muhammadiyah. Sarekat Mahasiswa menganggap penting adanya muatan perihal IMM dan HW dalam kode Etik Mahasiswa UMBandung karena UMBandung merupakan kampus yang dimiliki Muhammadiyah. Akan tetapi, diksi "mewajibkan" dalam pasal yang dimaksud menjadikan UMBandung terkesan menafikan esensi filosofis dari Universitas itu sendiri yang mengusung konsep kebebasan akademis berdasarkan pada sebuah buku yang berjudul Ideas: A History of Thought and Invention, from Fire to Freud yang berlandaskan pada Constitutio Habita atau Authentica Habita Atau Privilegium Scholasticum yang bertujuan untuk menciptakan paradigma worldview atau weltanschauung.
Maka dari itu Sarekat Mahasiswa UMbandung merekomendasikan :
a. Mengganti diksi "Mewajibkan" menjadi "Merekomendasikan" atau "Diutamakan"
b. Penambahan ayat didalam pasal yang dimaksud perihal perlunya diadakan muatan Kemuhammadiyahan dan Pergerakan Mahasiswa Muhammadiyah dengan tujuan edukasi dan dakwah di lingkup pendidikan organisasi kemahasiswaan seperti Ospek Jurusan dan sejenisnya yang digagas serta diisi oleh IMM.
3. Pasal 17 Ayat 7 tentang Skorsing selama satu semester, dua semester atau lebih dari kegiatan akademik, dan atau kemahasiswaan dengan tetap berkewajiban membayar SPP dan dihitung sebagai masa studi penuh.
Sarekat Mahasiswa berpendapat bahwa pengadaan sanksi merupakan satu hal penting yang harus hadir disaat suatu peraturan dibentuk. Sanksi yang dibuat harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Pemberian sanksi pun haruslah dibuat dengan landasan rasionalitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sanksi yang termaktub dalam pasal 17 ayat 7 dalam pandangan Sarekat Mahasiswa, kurang etis dan patut dipertanyakan rasionalitasnya. Pemberian sanksi namun berkewajiban untuk membayar SPP. Sarekat Mahasiswa meminta pihak kampus dapat memberikan alasan rasional perihal dibuatnya aturan tersebut.
4. Diksi "Sopan Santun" yang termuat dalam BAB IV perihal Ruang Lingkup Etika Mahasiswa serta keterkaitan diksi "sopan santun" dengan penyampaian aspirasi atau pendapat (Kritik).
Penggunaan diksi sopan santun dapat dikatakan bias karena sifatnya yang relatif kontekstual. Variabel norma sopan santun sangat erat kaitanya dengan ruang, waktu, individu, dsb. artinya, misalkan suatu peraturan atau satu sikap bisa dipandang sopan dan santun oleh satu individu namun bisa dipandang tidak sopan dan tidak santun bagi individu yang lain. Misalnya, kontekstualisasi kata jancok. Jika variabel ruang yang digunakan adalah pertemanan, waktu yang digunakan adalah non-formal atau kasual maka kata jancok masih dapat dianggap sopan dan santun. Lain halnya apabila variabel ruang yang digunakan adalah hubungan mahasiswa dan dosen dengan variabel waktu yang bersifat formal.
Sopan santun itu sendiri akan lebih bias lagi apabila dikaitkan dengan pengemukaan aspirasi atau pendapat (baca: kritik). Definisi kritik menurut Oxford Languages adalah ekspresi ketidaksetujuan terhadap orang lain atau sesuatu hal berdasarkan kesalahan atau kekeliruan perseptual. Lingkup kritik di ranah kampus sebagai ruang akademis harusnya menitikberatkan kritik pada kaitannya dengan ruang berpikir dibanding ruang sikap. Hal itu dikarenakan ruang akademis memiliki sifat rasionalitas dan logis sehingga titik berat yang dimaksud dari sifat kritik harusnya rasional, logis dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa perlu melibatkan sopan santun secara naratif.
Memasukan variabel sopan santun justru bisa membuat esensi dari kritik yang disampaikan menjadi kurang efektif dan kurang konstruktif karena masing - masing individu atau kelompok yang berdebat malah mempermasalahkan sopan dan santun atau tidaknya perdebatan yang sedang dijalankan. Sifat relativitas sopan santun menjadikan argumentasi perdebatan sopan santun ketika menyampaikan kritik menjadikan sifat atau bentuk debat menjadi debat kusir. Baiknya sifat sopan santun menjadi tanggung jawab individu dikembalikan lagi kepada moralitas masing - masing.
Sarekat Mahasiswa UMBandung merekomendasikan untuk mengganti diksi “sopan santun” pada ayat yang tidak berkaitan dengan kritik dengan diksi “moral” atau “moralitas” atau kata yang sepadan dengannya.
Untuk sopan santun yang terdapat pada ayat yang berkaitan dengan kritik diganti sifat narasinya menjadi lebih mengedepankan lingkup pikiran dibanding sikap teknis. Adapun muatan pikiran yang dimaksud adalah rasionalitas, logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lebih lanjut, Sarekat Mahasiswa UMBandung berharap diadakannya debat terbuka yang dapat disaksikan oleh seluruh mahasiswa UMBandung. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diperlukan agar tidak hanya antara pihak kampus dan Sarekat Mahasiswa UMBandung saja yang mendapatkan pemahaman perihal permasalahan ini melainkan juga seluruh mahasiswa. Debat terbuka juga berfungsi untuk memperjelas atau meluruskan permasalahan untuk mengikis kesalahpahaman. Esensi diadakannya debat terbuka menurut Sarekat Mahasiswa UMbandung yakni sifatnya sebagai edukasi yang bisa dijadikan acuan dalam mekanisme penyampaian kritik, disamping aspek dari sebagaimana layaknya ruang lingkup kritis.