![]() |
Kekerasan 'Tersembunyi' yang Diajarkan Buku Sekolah Pada Siswa. (Ilustrasi: Unsplash.com) |
Beberapa tahun ini, kekerasan di dunia pendidikan menjadi konsumsi publik yang selalu hangat diperbincangkan. Media sosial mengabarkan banyak kasus kekerasan, baik yang dilakukan guru, siswa, bahkan orang tua siswa itu sendiri. Ada yang disebabkan karena kenakalan, kelalaian, dan lain-lain.
Miris? Iya. Seolah pendidikan Indonesia kini diwarnai aksi-aksi bak gim Grand Theft Auto. Kasus terakhir yang saya temui di media sosial adalah seorang siswa yang membawa parang ke sekolah hanya karena dihukum oleh sang guru olahraga. Ngeri memang...
Tetapi, selain kekerasan fisik dan psikis, sebetulnya ada kekerasan 'tersembunyi', yang secara tidak langsung diajarkan kepada siswa sejak lama. Kekerasan ini disebut dengan kekerasan simbolik.
M Arfan Mu'ammar dalam Nalar Kritis Pendidikan (2019), menjelaskan bahwa kekerasan simbolik atau symbolic violence sulit dikenali. Sebab, para siswa ini menerima kekerasan tersebut begitu saja dan tidak merasa bahwa mereka menjadi korban kekerasan.
Seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu adalah orang yang mempopulerkan istilah kekerasan simbolik. Melalui bukunya, Distinction, Bourdie mengemukakan bahwa kekerasan simbolik berjalan melalui mekanisme yang disebut 'penyembunyian kekerasan'.
Mekanisme ini dianggap sebagai sesuatu 'yang memang seharusnya demikian'. Proses ini dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan atau Habitus.
Kekerasan Simbolik di Buku Sekolah
Ada penelitian yang dilakukan oleh Nanang Martono terhadap beberapa Buku Sekolah Elektronik (BSE) pada 2012 lalu. Buku yang diteliti adalah Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Matematika, Penjaskes, dan PKn. Buku-buku ini mungkin beberapa ada yang tidak related dengan kurikulum sekarang.
Nanang menganalisis tulisan narasi contoh, ilustrasi apresiasi, deskripsi tentang aktivitas sosial, cerita, sampai soal-soal berbentuk cerita. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dari 108 BSE, ada 660 halaman yang memuat habitus kelas atau sekitar 90 persen. Dan, sisanya 10 persen memuat habitus kelas bawah.
Hasil penelitian ini ada dalam buku pelajaran IPS dan Bahasa Indonesia. Materi mata pelajaran IPS lebih menekankan kepada siswa untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Tetapi, yang jadi persoalan, dalam BSE IPS kebanyakan menampilkan lingkungan keluarga kelas atas yang didukung berbagai simbol-simbol kelas tersebut.
Dalam buku Bahasa Indonesia pun demikian. Banyak narasi dan simbol-simbol yang dominan dilakukan oleh keluarga kelas atas. Dan, porsinya pun cukup banyak. Terlebih, mata pelajaran Bahasa Indonesia, menekankan narasi dan deskripsi secara tekstual dilengkapi ilustrasi.
Maksudnya, dalam buku itu lebih banyak menampilkan simbol-simbol seperti aktivitas yang dominan dilakukan orang-orang kelas atas. Tentu, hal ini adalah kekerasan 'tersembunyi' yang diajarkan pada siswa yang majemuk, yang tidak seluruhnya melaksanakan aktivitas dalam simbol-simbol tersebut.
Mungkin, ketika kita sekolah dulu pun begitu, pernah menemukan ada gambar seorang siswa yang diantar oleh ayahnya menggunakan mobil. Atau, menampilkan ilustrasi seorang ibu yang menyiapkan bekal makanan berupa roti isi kepada anak yang hendak pergi sekolah.
Tidak hanya itu, yang paling sering kita temui adalah profil pekerjaan ayah. Dalam buku tersebut, narasi contoh dominan dijelaskan sebagai seorang ayah yang berpakaian rapi dengan pekerjaan kantoran. Tentu, hal itu tidak dimiliki semua keluarga.
Sementara yang paling saya soroti adalah perayaan ulang tahun. Banyak ilustrasi dan narasi contoh tentang perayaan ulang tahun teman dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia. Dan, itu diajarkan terus-menerus secara berulang, sehingga menciptakan kebiasaan, dan seolah merayakan ulang tahun adalah hal yang memang seharusnya dilakukan.
Dari pembahasan di atas, saya berpendapat bahwa kebiasaan anak yang tumbuh hingga remaja, tidak melulu dipengaruhi oleh lingkungan dan keluarga. Kekerasan-kekerasan simbolik seperti ini bisa menjadi faktor pembentuk kebiasaan baru anak-anak zaman now.
Kemudian, kebiasaan itu didukung oleh keluarga dan teman sebaya yang sama-sama diajarkan dengan simbol-simbol tersebut. Alhasil, standar aktivitas remaja yang tumbuh akibat kekerasan itu berubah. Ditambah dengan pencampuran budaya dan modernisasi, menambah keruwetan yang terjadi di lingkungan remaja.
Buya Hamka pernah mengucapkan kata-kata yang menarik dan related dengan fenomena ini, "Dan, benar. Memang pikiran melahirkan ucapan. Ucapan melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan menentukan karakter. Dan karakter menentukan takdir kita."
Penulis: Afsal Muhammad (Demisioner Bewara Pers UM Bandung)