![]() |
Aksi unjuk rasa mahasiswa dalam pemakzulan Jokowi dan tolak pemilu curang pada Rabu, (7/2/2024). (Foto: Raka Adithia Wijaya) |
Kedaulatan, keadilan, yang telah tiada, bahkan kesatuan pun berpotensi dirusak lantas merdeka untuk siapa? Negara lahir atas kehendak bangsanya yang bercita-cita untuk merdeka yang tertuang di dalam UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Presiden Republik Indonesia yang telah disumpah untuk menjalankan pemerintahan yang seadil-adilnya dan menaati Undang-Undang Dasar (beserta undang-undang dan peraturan lainnya) sebagai landasan konstitusi negara dimana rakyatnya berhak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan. Selain itu, sebagai bentuk kedaulatan rakyat, seluruh sumber daya alam seperti bumi, air, dan kekayaan alam lainnya yang dikuasai oleh negara harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyatnya. Celakanya, rezim hari ini menjalankan pemerintahan dengan tidak menghiraukan amanat yang telah diberikan.
Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dengan isi yang bermasalah dan perumusan yang cacat serta tidak menunjukkan kebijaksanaannya sebagai pemerintah negara. Maka muncul lah sebuah pertanyaan yang esensial, jika sumpah seorang pemimpin kepada negara dan tuhan telah dilanggar, bagaimana mungkin dia akan menepati janjinya terhadap rakyat? Rezim Joko Widodo sebagai presiden telah gagal menjalankan pemerintahan sesuai dengan amanat konstitusi di mana rakyat hanya dianggap sebagai objek dari kebijakan, minimnya partisipasi publik yang bermakna dan derasnya represifitas aturan dan aparat yang terjadi hari ini membuktikan resistensi pemerintah yang menghiraukan kedaulatan rakyatnya dan amanah yang diberikan bangsanya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Sangat disayangkan, amanat konstitusi negara untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terlihat pada kondisi sekarang. Maraknya konflik agraria yang terjadi karena Proyek Strategis Nasional seperti konflik di Wadas, konflik di Rempang, perampasan lahan di Kota Bandung, dan kota-kota lainnya tidak pernah menemukan titik temu dan selalu memberi kerugian kepada masyarakat umum dan memberi keuntungan untuk pihak investor atau swasta. Kebijakan rezim sekarang terhadap pendidikan semakin mengkomersialisasikan pendidikan di Indonesia. Sehingga, membuat biaya pendidikan semakin mahal.
Dapat dilihat dari meningkatnya biaya pendidikan yang tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat Indonesia dan lebih buruknya lagi malah menormalisasi penggunaan pinjaman dana untuk pendidikan ketika sudah banyak riset terkait kredit pendidikan memberi dampak buruk secara jangka panjang. Monopoli sumber daya alam oleh pihak swasta atau investor dan oligarki semakin memperburuk kerusakan lingkungan. Negara, oleh rezim serampangan Jokowi, menjadi aktor dalam mengakumulasi kapital untuk pihak-pihak swasta atau investor dan oligarki ketika seharusnya negara memanfaatkan sumber daya alam untuk kemakmuran bangsa seluas-luasnya.
Dalam bidang kesehatan, inflasi yang terjadi dalam bidang kesehatan dan alat-alatnya membuat biaya kesehatan juga terus meningkat. Kerusakan lingkungan yang terjadi juga memberi efek pada kesehatan di Indonesia seperti meningkatnya resiko ISPA karena polusi udara yang semakin memburuk seperti yang terjadi pada masyarakat sekitar PTBA Tanjung Enim. Pemerintah juga tidak memiliki tindakan-tindakan preventif dan strategis untuk menanggulangi kerusakan yang terjadi. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah untuk memberi jaminan akses kesehatan yang layak secara merata dan berkelanjutan. Hal-hal tersebut menjadi bukti bahwa rezim sekarang tidak serius menjalankan amanat konstitusi dan sudah seharusnya pemerintah segera bertobat dan sadar diri bahwa mereka sudah tidak pantas untuk menjalankan amanat konstitusi.
Maraknya pengesahan kebijakan yang sewenang-wenang seperti Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) beserta PERPU dan Peraturan turunannya yang minim partisipasi publik yang bermakna, minimnya keterbukaan, dan kebijakan yang cenderung mengeksploitasi pekerja, merusak lingkungan, dan tidak berpihak kepada masyarakat. Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah mengatakan UUCK cacat formil, namun pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan dengan dalih kondisi darurat karena adanya perang Ukraina-Rusia, padahal perang tersebut tidak memberi dampak langsung dan signifikan pada negara Indonesia.
Tidak hanya sampai situ, masih ada UU KUHP dan UU ITE yang sarat akan pasal-pasal kolonial dan minimnya partisipasi publik serta keterbukaan, terlebih lagi memberi dampak buruk terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia karena memberi dampak mempersempitnya ruang gerak untuk menyatakan pendapat dan pikirannya. Proses pembentukan UU IKN pun tidak luput dari kecacatan. Dalam prosesnya, pembentukan UU IKN menabrak semua asas formil pembentukan perundang-undangan, minimnya partisipasi publik dan kedayagunaan-kehasilgunaan, dengan proses pembahasannya dibahas secara cepat dalam rentan waktu 17 hari. Padahal pemindahan IKN telah banyak menerima kritik dari kalangan akademisi karena perencanaan yang ugal-ugalan dan tidak adanya urgensi yang kuat untuk melakukan pemindahan serta tidak menyelesaikan permasalahan seperti pemerataan ekonomi, penduduk, dan masalah-masalah lainnya.
Fenomena tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum dan mematuhi segala peraturan pembentukan perundang-undangan. Putusan MK No. 90/PUU-XII/2023 mengenai batas usia capres-cawapres, MK telah menjalankan peran diluar tugasnya, menggadaikan kredibilitas, dan marwahnya sebagai penjaga konstitusi. Lepasnya predikat kekuasaan kehakiman untuk menjalankan fungsi check and balance, dan malah menjadi alat politik untuk melakukan perubahan perundang-undangan secara instan tanpa adanya partisipasi publik. Keberadaan dari putusan ini membawa pemilu serentak 2024 masuk dalam jurang kecurangan. Kecurangan pada pemilu 2024 tidak hanya terjadi karena adanya putusan MK tersebut, namun kecurangan tersebut sudah dirancang sedemikian rupa sehingga kecurangan yang terjadi merupakan kecurangan yang sistemik dan sistematis.
Pertama-tama, dapat dilihat dari diizinkannya presiden untuk melakukan kampanye (dengan berbagai syarat) melalui revisi UU Pemilu 2017 dan adanya putusan MK yang mengizinkan pejabat negara untuk ikut berkampanye. Dua hal tersebut menunjukkan tidak adanya netralitas sebagai pejabat publik. Indikasi skema kecurangan yang besar selanjutnya adalah penggabungan kekuatan Prabowo dan Jokowi yang sangat luar biasa. Namun kecurangan tersebut dilanjutkan dengan penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Mendagri (Tito Karnavian) beberapa penjabat gubernur dan walikota ada yang ditunjuk secara langsung dengan mengabaikan partisipasi masyarakat melalui DPRD pada tingkat kabupaten dan kota.
Kejanggalan tersebut ditambah dengan tidak adanya transparansi dasar penunjukan penjabat gubernur dan walikota, Mendagri Tito Karnavian seakan-akan menyembunyikan kecurangan tersebut padahal tikus yang mati walaupun tidak terlihat pasti akan tercium baunya. Selain dengan adanya penunjukan pejabat gubernur dan walikota, skema kecurangan dilanjutkan dengan menggerakan pemimpin pada tingkat desa yaitu kepala desa. Ini terbukti dengan adanya acara Desa Bersatu yang awalnya untuk mendeklarasikan pasangan calon tertentu tetapi batal karena berbagai pertimbangan padahal kepala desa menurut Undang-Undang Pemilu dituntut netral, Belum lagi banyaknya kepala desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tiba-tiba dipanggil oleh aparat mereka diarahkan untuk mendukung pasangan calon tertentu jika kasus mereka ingin selesai.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak berdaya melihat banyaknya pelanggaran seperti Acara Desa Bersatu atau Pembagian Susu ketika CFD di Jakarta, pengawas pemilu seakan-akan ditelanjangi kekuasaannya bahkan mereka hanya memberikan sanksi teguran untuk pelanggaran berat seperti mobilisasi kepala desa untuk memenangkan pasangan calon dan melanggar peraturan daerah tentang larangan penggunaan car free day sebagai sarana kampanye. Bawaslu seperti kehilangan marwahnya sebagai pengawas pemilu bahkan sebagai institusi, karena sudah menyerahkan marwahnya kepada sang tirani. Penggunaan bantuan sosial sebagai alat politik juga tidak terhindarkan, masyarakat disuguhkan oleh bantuan sosial yang semakin banyak mendekati pemilu, dampaknya anggaran bantuan sosial mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah. Namun itu bukan untuk membantu masyarakat yang masih terdampak secara ekonomi namun hanya sebagai alat politik dengan menggunakan masyarakat untuk memenangkan pasangan calon. Masyarakat pun pada akhirnya hanya menikmati bansos yang banyak ini menjelang pemilu saja.
Tidak hanya sampai disitu, kebijakan - kebijakan yang telah dipaparkan sebelumnya mengindikasikan dua hal; pertama, menunjukan keserampangan dan ugal-ugalannya praktik kekuasaan yang dapat terlihat dengan pola kebiasaan dengan membuat aturan - aturan predatoris yang instan dan me-nihilkan aspirasi serta partisipasi masyarakat. Kedua, pada hari ini hukum dan kebijakan hanya dijadikan alat sebagai pelindung, glorifikasi dan legitimasi bagi kekuasaan untuk menjalankan kepentingannya. Belum lagi, kebijakan - kebijakan tersebut memiliki implikasi atau dampak yang luas terhadap kehidupan bangsa dan bernegara serta berdampak secara langsung maupun tidak langsung kepada beberapa sektor kebijakan lain. MPR, DPR dan MK sejauh ini tidak mengambil langkah konkret terkait dengan isu pemakzulan presiden yang ramai disuarakan di jalanan.
Apakah mereka malu, takut atau mungkin tidak peduli kepada rakyat? Seolah mereka menutup mata dan telinga terkungkung akan kepentingan dirinya, kelompok, atasan atau bahkan keluarga. Sikap kekuasaan yang tidak netral, arogan, niretika berdampak kepada orientasi kebijakan pada rezim ini yang selalu mengesampingkan nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dan/atau kebijakan, serta supremasi hukum dan hak asasi manusia. Pembiaran dan tindakan diam yang dilakukan oleh MPR, DPR dan MK dapat kita artikan sebagai sebuah kebijakan untuk melanggengkan kepentingan tirani, oligarki dan dinasti pada hari ini. 300 lebih perguruan tinggi membuat petisi atas carut-marutnya demokrasi, ribuan mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat di berbagai kota turun tumpah ruah demi menyelamatkan demokrasi, fenomena tersebut merupakan sebuah bukti konkrit bahwa negara ini sedang tidak baik - baik saja.
Hal ini seharusnya menjadi dentuman keras bagi rezim hari ini, dengan banyaknya lembaga perguruan tinggi, guru besar, mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat membuktikan bahwa secara de facto penguasa sudah tidak lagi memiliki kekuasaan karena kekuasaan tersebut merupakan mandat dari rakyat yang didasarkan pada kepercayaan dalam proses elektoral. Lalu sampai kapan tirani muncul di negara demokrasi? Kami mengucapkan duka atas demokrasi dan konstitusi yang telah dibajak oleh kepentingan tirani tapi kami tidak akan berhenti hanya untuk mengutuk kegelapan, kami akan menjadi lilin untuk menerangi kegelapan. Jangan diam, lawan.
Penulis: Raka Adithia Wijaya, Insyira Kamil Maharani, Gery Nurfauzy & Debi Oktaviani