Menjadi Dewasa: Antara Harapan, Luka, dan Keikhlasan

Menjadi Dewasa (Foto: Pinterest)

Rasanya kita tetap manusia kecil yang membutuhkan ruang untuk meraung tentang hal-hal yang telah kita lalui. Tentang ekspetasi, cita-cita, serta realita yang tak jua satu suara. Kita tetap manusia kecil yang selalu butuh untuk di dengar, di tenangkan, diberi nasihat, ditemani sebagai bentuk penyadaran bahwa kita hidup dengan gemuruh kita masing-masing.

Sepertinya menjadi dewasa adalah menelan mentah-mentah dan menormalisasi segala bentuk perasaan; kekecewaan, ketakutan, kesepian, kebingungan, kehilang-arahan atau perasaan-perasaan semacamnya. Setelah hari-hari berat dilalui, kita mengira sudah cukup menderita tapi ternyata masih banyak penderitaan lain yang harus dijelajahi, lagi dan lagi. Menjadi manusia kecil yang bertumbuh dengan menebak jalan mana yang benar, segalanya terus terlihat sangat membingungkan. Seolah-olah kita sendirian di dunia yang sangat luas ini.

Tidak ada contoh tentang bagaimana cara yang benar untuk menjadi; anak yang baik, teman yang baik, pasangan yang baik, atau apapun yang baik-baik yang diinginkan semesta untuk kita menjadi seperti itu. Seringnya gagal, terjatuh, salah, di cemooh. Meski begitu, kita sudah berusaha.

Pada akhirnya kita hanya terus terlatih mengabaikan rasa sakitnya. Menjadi begitu dingin hingga luka itu mati sendirinya. Karena seingin apapun meluruskan keadaan, mencari tameng membela diri, sejatinya kita sudah kehabisan energi untuk hal semacam itu. Perjalanan panjang mengantarkan kita pada hari dimana kita menyadari bahwa selain menjadi benar, menjadi ikhlas adalah sebaik-baiknya cara menjalani kehidupan.


Penulis: Putri Dewi


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama