Laut
Merebah lelah sebelum kembali melangkah. Di batas cakrawala, dingin menjelma selimut bagi tubuh yang kian lama kian melemah. Perlahan, kantuk menguasai diri, memejamkan mata pada sebuah angan yang terbang dibawa angin.
Pada sebuah kesendirian dihiasi pasang gelombang yang bersahutan. Aku mematung di tengahnya, merasakan getar dari kedalamannya. Diambang gelap dan terang, terlintas sebuah nama dari sebuah cerita. Kisah hidupnya dibatas indah dan perih, Biru Laut.
Aku masih berdiri mendengarkannya. Melalui ombak yang datang, Laut bercerita. Sang Penyair pernah memberikan hadiah pada ulang tahunnya. Secarik kertas lusuh, berisikan sebait puisi yang diselipkannya ke dalam sebuah buku bersampul hitam.
Matilah engkau mati
Kau akan terlahir berkali-kali…
Anganku berhenti, seorang kawan menepuk bahuku sembari berkata. “Tidurnya jangan terlalu lama, kita bukan sedang di dalam tenda, khawatir terkena hipotermia.” Mata terbuka dengan kesadaran yang belum terkumpul. “Berapa suhu saat pagi ini.” Tanyaku dengan setengah sadar. “Sembilan derajat celcius.” Jawabnya sembari memberikan sebuah roti. Aku menyantapnya sebagai sarapan.
Meskipun kami gagal menikmati matahari terbit di puncak gunung, keindahan matahari terbit tak pernah gagal dalam memberikan kenang yang akan terus bersemayam di dalam sanubari. Kebaikannya tak berhenti di situ, kali ini kawanku memberikan secangkir kopi. “secangkir kopi untuk menikmati proses perjalanan.” Ujarnya dengan suara halus. “bisa aja.” Balasku sembari tertawa kecil. “Kalau untuk menghangatkan tubuh kita butuh jaket dan peralatan lain sejenisnya, nah kalau untuk menghangatkan jiwa ya dengan bercengkrama.” Ucap kawanku sembari menyalakan sebatang rokok.
Kami bercengkrama, saling bertukar cerita. Beberapa orang melalui kami, dan mentari kian menunjukan jati dirinya. Perbincangan kami kini, tiba pada sebuah pertanyaan kawanku. “Kamu tahu permainan sepak bola? Atau permainan catur, ah permainan apa saja lah yang penting permainan.” Ucapnya dengan sedikit tawa kecil. Belum sempat dijawab, kawanku melanjutkan perkataannya. “Misalkan saja kita bermain bola, hal yang harus kita lakukan adalah tidak bermain-main bukan?” “iya aku setuju, sudah seharusnya kita tidak bermain-main.” Jawabku. “Coba renungkan sejenak, apa yang akan terjadi jika kita bermain-main!” Perintahnya seolah seperti seorang pemimpin. Aku menjawab “Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah tim kita kalah.” “Lah kenapa bisa begitu ya?” tanya ku dengan wajah penuh penasaran. “Ya karena kita bermain-main, dalam arti lain kita tidak bersungguh-sungguh. Aneh kan, dalam sebuah permainan kita dituntut untuk tidak bermain-main, padahal kan permainan.” Jawab kawanku dengan tawa penuh keheranan. Kami tertawa Bersama.
Tawaku berhenti perlahan ketika kawanku melanjutkan perkataannya. “Nah, begitu juga dengan hidup. Hidup adalah permainan. Kita adalah pemain yang dituntut pada dua pilihan. Bermain-main dalam hidup, atau bersungguh-sungguh dalam kehidupan.” Ujarnya, sembari menyimpan sampah puntung rokoknya.
Aku masih mencerna perkataannya, sementara kawanku menyimpan kembali barang-barangnya, pertanda kami akan segera melangkah. Aku terdiam terpaku pada pandangan awan yang menjelma seperti sebuah lautan. Kepalaku seperti sedang mengingat sesuatu. Benar saja, sebuah hadiah dari seorang penyair untukmu laut. Sebait puisi yang ditulis pada kertas lusuh.
Matilah engkau mati
Kau akan terlahir berkali-kali…
“Laut kamu telah berhasil menerima hadiahnya, hadiah yang sangat-sangat Istimewa. Sebuah pesan tersirat untuk terus hidup dengan bersungguh-sungguh. Meskipun dirimu mati, kamu akan terlahir berkali-kali, karena dirimu akan hidup abadi, terkenang oleh kawan-kawanmu. orang tuamu, masyarakat, bahkan ceritamu akan terus berlanjut dari satu generasi hingga generasi tak hingga sebagai pemain terbaik yang pernah ada.” Ucapku dengan suara kecil, penuh haru, sembari menghadap awan yang membentuk sebuah lautan.
Tak lama dari itu, kawanku kembali menepuk bahuku sembari berkata. “Mari bersungguh-sungguh.” Kami kembali melangkah menuju puncak, waktu kian berjalan beriringan dengan awan yang dihembus angin. Sembari melangkah aku bergumam. “Terima kasih Laut, engkau abadi.”
Penulis: A.H.Ghibran
BACA JUGA:
- Langit Yang Tak Lagi Sama
- Perlukah Kita Berharap?
- Aulia Zakiyah Almardiyah Mahasiswa Psikologi Peraih Juara 2 Lomba Essay
Psychopora UMS 2024 - Paduan Suara UM Bandung Menggelar Acara Resital ke-4, 34 Anggota Baru Ditetapkan