Konflik dan Harapan: Hari Bumi dari Mata Warga Jawa Barat




Koalisi Gerakan Rakyat Selamatkan Bumi menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (22/04/2025). (Foto : A. H. Ghibran / Bewara Pers)

BEWARAPERS.IDLangit Bandung cerah seolah memberikan harapan. Namun, Jalan Diponegoro, tepatnya depan Gedung Sate, Kota Bandung penuh dengan kegelisahan masyarakat. Di tengah teriknya matahari dan suara kendaraan yang berlalu-lalang, ratusan masyarakat berkumpul dan bersatu dalam suara bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Hari Bumi tahun ini bukan sebatas perayaan, tapi sebuah peringatan.

Di tengah massa aksi, satu papan hijau mencolok berdiri dengan gagah: “Warung Makan Bumi-Buka Semenjak Pemanasan Global.” Daftar menunya bukan makanan, tapi ironi atas kondisi lingkungan Jawa Barat yang terus “dimasak” tanpa henti, mencerminkan atas krisis ekologis yang kini semakin memburuk.



Spanduk berisi 17 menu masalah Lingkungan di Jawa Barat, Selasa (22/04/2025). (Foto : A. H. Ghibran / Bewara Pers)


Aksi yang digelar oleh koalisi ini berlangsung sejak pagi, Selasa (22/04/2025). Massa aksi terdiri dari sekitar 670 masyarakat yang datang dari berbagai kalangan, mayoritas dari petani dan nelayan yang terbagi dari berbagai daerah seperti Sumedang, Indramayu, Cianjur, Karawang, Bandung. Aksi ini juga diikuti oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Tujuannya tidak sebatas merayakan Hari Bumi, aksi ini juga menjadi pengingat kepada Gubernur Jawa Barat bahwa masih banyak masalah lingkungan di Jawa Barat.


“Massa aksi ini yang terdata di sekitar 670 masyarakat sedikit banyaknya itu dari kalangan petani dan nelayan dari daerah seperti Sumedang, Indramayu, Cianjur, Karawang. Untuk mahasiswa tadi ada beberapa mahasiswa dari Unpad dan Sanggabuana, begitu pun banyak juga dari Mapala.” Ujar Abi selaku koordinator lapangan Aksi Hari Bumi.


Salah satu suara utama dalam aksi ini datang dari WALHI Jawa Barat. Mereka menggarisbawahi 16 isu lingkungan yang menjadi sorotan. Salah satu yang paling krusial adalah soal reforma agraria yang tak berjalan, di mana lahan masih lebih banyak dikuasai perusahaan daripada oleh rakyat, seperti yang terjadi di Sumedang dan Indramayu. Selain itu, proyek strategis nasional di sektor energi yang selama ini didorong pemerintah justru merampas ruang hidup warga dan merusak lingkungan. Walhi Jabar mencatat penyusutan kawasan hutan yang dilakukan oleh Perhutani dan perusahaan perkebunan, di mana tanah-tanah yang seharusnya dijaga justru dialihfungsikan menjadi kawasan wisata, properti, hingga pertambangan. Tak hanya itu, buruknya tata kelola ruang di wilayah perkotaan juga turut memperparah kerusakan lingkungan.

“Enam belas masalah ini kami suarakan untuk mewakili suara rakyat dari berbagai wilayah. Namun kenyataannya, itu pun belum mencakup seluruh persoalan lingkungan yang ada di Jawa Barat,” ujar Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif WALHI Jabar.

 



Koalisi Gerakan Rakyat Selamatkan Bumi menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (22/04/2025). (Foto : A. H. Ghibran / Bewara Pers)

 

Dari Sumedang, suara perlawanan datang dari warga yang menolak perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah yang seharusnya sudah kembali ke rakyat. “Sejak kontrak HGU habis tahun 2023, kami tidak lagi bisa memanfaatkan tanah seluas lebih dari 400 hektare itu. Jalan rusak kami perbaiki sendiri, lahan kami rawat, tapi tetap tidak bisa kami kelola,” tegas Jajang Wahyudin, warga sekaligus anggota Paguyuban Tani Cemerlang dari Desa Cimarias dan Cinanggerang

Selaku Ketua Paguyuban Tani Cemerlang Wahyudi ikut memberikan tanggapan bahwa sejak lama masyarakat sebetulnya menginginkan tanah tersebut agar lebih produktif. Bahkan perusahaan tersebut sangat merugikan masyarakat.

“Kami merasakan bahwa perusahaan tersebut merugikan masyarakat, seperti banjir saat musim hujan, kebakaran saat kemarau, dan serangan hama seperti babi hutan saat musim tanam, karena lahan sekitar perusahaan tersebut menjadi belantara.” Ujar Wahyudi selaku Ketua Paguyuban Tani Cemerlang.

Di sela massa aksi, pedagang kaki lima yang ikut menyaksikan juga menyuarakan harapan. “Petani benar-benar penting dalam menyediakan pangan. Harapannya pemerintah berhenti mengandalkan impor.” Ujar salah satu pedagang.

WALHI Jabar dan Koalisi menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (22/04/2025). (Foto : A. H. Ghibran / Bewara Pers)

Hari Bumi tahun ini menjadi lebih dari sekedar perayaan tahunan. Di Bandung, suara-suara yang selama ini terpinggirkan naik ke permukaan. Dimulai dengan petani yang lahannya terancam, juga nelayan.

Bagi massa aksi, menyuarakan tuntutan hari ini adalah bentuk usaha keras mereka menjaga ruang hidup di masa depan. Mereka tahu bahwa perubahan tidak akan datang secepat hujan turun di musim kemarau, tetapi keyakinan mereka untuk terus bersuara akan tetap terjaga. Sebab disetiap tuntutan yang mereka suarakan, tersimpan pesan yang tak bisa diabaikan. Selama bumi belum diperlakukan dengan adil, maka Hari Bumi akan selalu menjadi Peringatan.

Wartawan: A. H. Ghibran, Wida M., Azkia A. F.

Editor: A. H. Ghibran.

News Anchor: Nisa Aghnia Nurul Althof

 

 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama